Label: PERGERAKAN
SekapurSirih
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian
integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan)
disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan
Tauhid
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan
dengan perkembangan zaman,
selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama
ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel
dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan
menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.
Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa
Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak
diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan
sepanjang masa dan akan selalu relevan
Apa Itu Aswaja?
Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah
sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau
madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab
al-madzhab).
Al-Sunnah mempunyai arti
jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl
keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah
berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan,
Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para
Shahabat dan tabi’in. yang biasa dikenal dengan golongan SUNNI
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak
menyebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa
Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut
pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut
pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut
Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Kapan sejarah munculnya Kelompok Aswaja?
Munculnya Aswaja dimulai sejak terjadi Perang Shiffin
yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah, sehingga
ummat Islam terpecah kedalam berbagai golongan. Yaitu Golongan Syi’ah, golongan Khawarij, dan kelompok Jabariyah (yang melegitimasi
Muawiyah). Serta golongan Murjiah dan
Qadariah (faham berlawanan dengan faham Jabariyah)
Selain itu ada komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu
Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), yang mengembangkan
aktivitas keagamaan yang bersifat kultural), ilmiah, moderat, dan tidak ekstrim
serta tidak mudah mengkafirkan kelompok
lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.
Pandangan Iman Hasan Bastri tersebut diteruskan oleh
Abu Hanifah Al-Nu’man (150 H), Malik Ibn Anas (179 H), Imam Syafi’i (204 H),
Ibn Kullab (204 H), Ahmad Ibn Hanbal (241 H), hingga Abu Hasan Al-Asy’ari (324
H) dan Abu Mansur al-Maturidi (333 H). (dua ulama terakhir inilah permulaan
faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun
benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya).
Apa Serpirit
Aswaja?
Pada intinya, ajaran Aswaja mengandung spirit sikap
keberagaman dan kemasyarakatan, yaitu tawasuth dan I’tidal (moderat), tasammuh
(toleran), tawazzun (keseimbangan) dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak
kebaikan, mencegah kemunkaran) dengan mengedepankan kebajikan secara bijak,
sehingga nilai-nilai syariat islam dapat dijalankan oleh masyarakat dengan menyesuaikan kondisi setempat.
Aswaja menolak ajaran aqidah Islam garis keras.
Seperti mu’tazilah dan juga menolak
kelompok yang menutup diri dari golongan mayoritas kaum muslimin. Akan tetapi
Aswaja selalu dapat menerima masukan dari dalam dan luar untuk mencapai
kebaikan yg lebih utama, dengan kaidah “al-muhafazhah ‘alal qadimi al-shalih wa
al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan hal lama yang baik dan mengambil
hal baru yang lebih baik). sehingga tidak pernah a priori terhadap tradisi,
selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan kebaikan dan juga
memungkinkan bertindak selektif terhadap tradisi dengan kaidah “ma la yudraku
kulluhu la yutraku kulluh” (jika tidak dapat dicapai kebaikan semuanya, tidak
harus ditinggal semuanya).
Bagaimana Aswaja di Indonesia?
Nahdlatul ‘Ulama yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH
Hasyim Asy’ari adalah merupakan Ormas Islam pertama di Indonesia yang
menegaskan diri berfaham Aswaja, yaitu
faham keagamaan yang menganut;
1. bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari
dan Al-Maturidi,
2. dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu
madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan
Imam Hanbali),
3. Dibidang
tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Pilihan Nahdlatul Ulama (NU) yang menganut Faham
Aswaja ini diikuti oleh organisasi yang berada di bawah naungan NU dan juga
organisasi lain yang beravikliasi kepasda NU
Aswaja itu sebagai Madzhab atau manhajul Fikr?
Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar
tahun 1994, di tubuh Nahdlatul Ulama dan organisasi dibawah naungan NU, pengertian Aswaja dianut sebagai madzhab,
artinya seluruh penganut Aswaja menggunakan produk hukum atau pandangan para
Ulama dimaksud dalan Aswaja
Baru pada tahun 1994, muncul gugatan yang
mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat
dipergunakan dengan cara lain?
Pengertia aswaja sebagai madzhab dipandang sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat situasi yang berjalan dengan
sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu,
pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin
terdapat madzhab di dalam madzhab?
Sehingga ahirnya,
tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan
kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari
itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.
Aswaja Sebagai Manhajul Fikr di PMII
Pada 1995/1997,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj
al-fikr pandangan tersebut
merupakan hasil Simposium Aswaja di
Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak
dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj mengenai perlunya Aswaja ditafsir
ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk
merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian
Aswaja.
PMII memandang bahwa Aswaja adalah orang-orang yang
memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan
perinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan
tasamuh (toleran). Moderat tercermin
dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping
memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan
nash dengan penggunaan akal.
Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode
dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan agama sekaligus urusan
sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.
Perinsip Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
Bidang Aqidah
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia
adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni setiap Muslim bahwa
Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia
Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan
meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai
utusannya dan ummat manusia harus meyakini bahwa Muhammad SAW adalah utusan
Allah SWT terahir, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia yang harus
diikuti oleh setiap manusia
Pilar yang
ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan
dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat
imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka akan dihitung
(hisab) seluruh amal perbuatannya selama hidup di
dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan yang banyak beramal
buruk akan masuk neraka
Perinsip Aswaja Sebagai Manhajul Fikr
Bidang Politik
Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif
(fardhu kifayah). Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk
mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama
(mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk
negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi
(kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau
kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut
tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut.
Syarat-syarat itu adalah:
1. Perinsip Musyawarah (Syuro)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil
segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan
2. Perinsip
Kkeadilan (Al-Adlu)
3. Peinsip kebebasan (Al-Hurriyyah) atau dikenal dengan
perinsip lima (Al Ushulul Khoms) yang terdiri;
a. Hifzhu
al-Nafs (menjaga jiwa); pemimpin (negara) menjamin setiap warga negara untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
b. Hifzhu
al-Din (menjaga agama); pemimpin(negara) menjamin kebebasan
setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya.
c. Hifzhu
al-Mal (menjaga harta benda); pemimpin (negara) menjamin
keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya.
d. Hifzhu al-Nasl; bahwa negara menjamin terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan
setiap warga negara Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama
setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
e. Hifzh
al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi,
pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan
warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya.
4. Perinsip Kesamaan derajat (Al Musawah)
Negara harus mewujudkan kesetaraan derajat antar
manusia di dalam wilayahnya sebagai warga negara.
Bidang Istimbat Hukum (penganbilan hukum)
Aswaja menggunakan empat sumber dalam beristimbat
hukum yaitu: Al-Qur’an , As-Sunnah ,
Ijma’dan Qiyas
1. Al-Qur’an sebagai sumber utama dan tertinggi dalam
pengambilan hukum (istinbath al-hukum)
2. As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan
perilaku Rasul SAW yang diriwayatkan
oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath
al-hukum tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen
(pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an
- Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi)
dan ummat Muhammad pada suatu masa
terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
- Qiyas, adalah hasil ijtihad
para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya
dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum.
Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
Bidang Tasawuf
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu
dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa
keterikatan apa pun.”
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf
adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah
Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah
proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam
urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar
batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa
meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan
duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus
diwujudkan. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara
aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap
potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
Persoalan social-budaya di Indonesia dapat dilihat dengan menggunakan; Pertama, analisa terhadap kondisi social budaya masyarakat, baik pada tingkatan lokal atau pada tingkat global. Kedua, analisa nilai-nilai budaya yang kemudian didalamnya terdapat nilai-nilai ke-Ahlussunnah wal Jama’ah-an sebagai nilai yang terpatri untuk melakukan perubahan ketika kondisi sosial budaya menjadi dasar pijakan. Dari itu semua, pembentukan karakter budaya menjadi tujuan akhirnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks sosial budaya dijadikan nilai-nilai yang kemudian menjadi alat untuk melakukan perubahan sosial budaya. Ekplorasi terhadap permasalahan lokal maupun global merupakan cara untuk mengetahui akar persoalan sosial budaya yang terjadi. Bahwa pada kenyataannya globalisasi ternyata mengikis budaya lokal didalam seluruh aspek kehidupan. Globalisasi tanpa kita sadari telah merusak begitu dalam sehingga mengaburkan tata sosial budaya Indonesia. Ironsnya, masyarkat menikmati produk-produk globalisasi sementara produk lokal menjadi teralienasi.
Permasalahan lain adalah adanya dominasi dari satu masyarakat, dalam hal ini adalah budaya dominan atas masyarakat yang memilki budaya minor. Hal ini merupakan satu pergeseran nilai akibat pengaruh sosial budaya masyarkat global yang global yang cenderung matrealistis dan hedonis, sehingga yang terjadi berikutnya adalah demoralisasi bukan hanya dimasyarakat, tetapi juga sudah merambah ditingkat penyelenggara Negara, poloitisi, militer, bahkan peradilan. Maka sebetulnya dalam konteks ini, kapitalisme atau globalisasi telah melakukan hegemoni terhadap kita. Perubahan global yang datang bertubi-tubi lewat media informasi menyebabkan relatifisme pemahaman terutama pemahaman keagamaan. Mental inferor dari Negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia akan suit hilang karena sejalan dengan keinginan menjadi superior dari Negara-negara maju.
Berangkat dari kondisi tersebut, perlu adanya strategi budaya untuk melakukan perlawanaan ketika hegemoni kapitalisme global semakn “menggila”. Salah satu straegi itu mnejadikan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai dasar strategi gerakan. Strategi yang dimaksud bisa dalam bentuk penguatan budaya-budaya lokal.
Dalam konteks sosial budaya, posisi Negara dengan masyarakat bukanlah vis a vis tetapi sebagaimana Negara, pasar dan globalisasi secara umum dapat sejajar. Terkait denga itu, PMII harus dapat menjembatani keinginan-keinginan masyarakat terhadap Negara agar kebijakan-kebijakan Negara tidak lagi merugikan masyarakat dan tidak lagi menguntungkan kapitalis global.
PMII harus secara tegas mengambil posisi ini untuk membantu mengantisipasi dampak ekonomi pasar dan globalisasi terhadap masyarakat.
Terutama untuk penerjemahan kebijakan Negara, kebijakan ekonomi pasar kemudian globalisasi secara umum yang berdampak pada pihak local yang sebetulnya menjadi sasaran distribusi barang. Juga mempengaruhi budaya. Disisnilah peran PMII dengan seperangkat nilai-nilai idealnya seperti tawazun,tasamuh dan ta’adul menjadi dasar guna menjembatani kesenjangan antara wilayah internal masyarakat Indonesia.
Berdasarkan hal itu maka pilihan agregasi PMII harus senantiasa diorientasikan untuk mengerangkakan formulasi rekayasa sosial yang diabdiakn sebesar-besarnya bagi pemberdayaan masyarakat dihadapan Negara maupun pasar. Sehingga dapat tercipta perimbangan kekuatan yang akan memungkinkan terbentuknya satu tatanan masyarakat yang relasional-partisipatif antara Negara, pasar, PMII dan masyarakat, dimana PMII dengan masyarakat merupakan kesatuan antara system dengan subsisitem yang mencoba menjembatani masyarakat, Negara dan pasar. PMII dengan demikian berdiri dalam gerak transformasi harapan dan kebuthan masyarakat dihadapan Negara dan pasar.
Penutup
Pada akhirnya setelah sahabat/i semua mengetahui
Aswaja mulai dari sejarah kemunculan, konsep sampai spirit ajarannya. Sahabat/i
dituntut agar mampu mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Aswaja dalam konteks
pergerakan dan kemasyarakatan. Artinya Aswaja tidak dipandang hanya dari segi pengetahuan
akidah dan fiqh, namun lebih pada praktik sesungguhnya sebagai metode (manhaj)
dalam bergerak
Salam Perrgerakan “Tangan terkepal dan maju kemuka”
Wallohu Muafiq Ila Aqwamit Thoriq Wassalamu ‘alaiku
Wr. Wb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar