Ada
beberapa fenomena yang cukup menonjol di tengah ummat Islam beberapa waktu
terakhir ini. Pertama, ada sebagian besar ummat Islam sepertinya begitu
antusias untuk mengkomersialkan agama. Kedua, sebagian besar ummat Islam
sepertinya menyukai gerakan-gerakan kekerasan atas nama agama.
Ketiga,
sebagian besar ummat Islam sepertinya sangat temperamen atau tidak
terkontrol emosinya, sehingga terkesan ummat Islam identik dengan kaum
pemarah pantang tersinggung, sehingga mudah dipancing dan
dipermainkan. Dengan demikian timbul pertanyaan, ada apa sebenarnya
ini? Apakah memang benar begitu ajaran Islam.
Dalam
pengamatan sepintas lalu, sepertinya ada hal yang hilang dalam diri sebagian
besar ummat, yakni aura kesejukan, aura kesantunan, aura zuhud (asketis).
Sebagai salah satu contoh kasus, sekarang lagi trendy, untuk
dapat belajar bagaimana cara sholat yang khusuk maka
sebagian besar ummat Islam terpaksa pergi ke hotel berbintang, dan
mengeluarkan uang berjuta. Serta banyak kiat-kiat kesuksesan atas nama
Islam dan Quran di hotel berbintang dengan bayar mahal. Apakah “kita” tidak
termasuk memperjualbelikan ayat-ayat Tuhan dengan harga sedikit (QS.9:9)?
Apakah
tidak ironis rasanya? Padahal sebagian besar ummat Islam dalam keadaan
miskin. Apakah ada nabi Muhammad. Saw mengajarkan untuk belajar tentangpelatihan khusuk harus
membayar mahal? Paling murah seratus ribu rupiah. Apakah nabi Muhammad.
Saw dulu menuntut bayar? Masih adakah para ustadt, buya, ulama
yang mau mengajarkan Islam dengan ikhlas tanpa mau dibayar. Dalam satu
sisi agama layaknya sudah jadi komoditas dan mode yang dipasarkan. Sebagian
besar ummat Islam sepertinya lebih mau menerima dan belajar Islam kalau
membayar mahal, sedangkan yang gratis, lillahi ta’la, tidak laku, dipandang
rendah, dianggap gengsi.
Sedangkan
dalam satu hadist diceritakan bahwa untuk mencari nabi Muhammad. Saw
bukanlah ditengah orang-orang kaya, bukan di tengah para pejabat, bukan di
hotel berbintang (di masa itu tentu semacam penginapan kelas tinggi),
tetapi carilah nabi Muhammad. Saw di tengah orang-orang miskin. Namun pada
hari ini dapat ditemukan banyak ummat muslim yang kaya, dengan rumah
bagaikan istana para jet set dengan mesjid yang megah berkilau-kilau oleh
lampu dan mar-mar, namun tidak jauh dari sana, disekelilingnya, hidup ummat
muslim yang miskin.
Seorang
gubernur menghabiskan uang sekian milayar atau seorang mantan menteri
menghabiskan uang sekian miliyar pula untuk membangun mesjid. Mesjid yang
sudah ada dan kuat dibongkar lagi dengan uang yang milayar pula. Sementara
ummat muslim fakir dan miskin raya, anak-anak fakir dan miskin tidak bisa
sekolah, anak-anak lapar di jalanan. Di setiap kota selalu akan diserbu oleh
fakir miskin minta sedekah selepas jum’atan dan persimpangan toko. Terpikir
oleh kita, apakah pernah nabi Muhammad. Saw kerjanya membangun mesjid
agung yang megah untuk menegakan Islam, bukankah mesjid
Madinah dan Mesjidil Haram itu hanya terdiri dari batu gunung yang
sederhana saja? Di manakah marwah “kita”, jika untuk membangun mesjid,
“kita” harus mengemis menghambat bus dan mobil minta sedekah di jalan raya.
Adakah ini diajurkan oleh Rasullullah?
Di
samping itu, sekarang pun bertebaran sekolah-sekolah swasta Islam namun
bukan untuk orang muslim yang miskin, masih tetap untuk orang-orang kaya yang
berduit, sementara banyak tokoh kian kemari bicara dan berkampaye
tentang Islam. Alangkah terharu rasanya ada sekolah untuk kaum duafa,
fakir miskin. Ada juga sekolah untuk duafa tetapi juga
terlantar dan miskin.
Bukankah
Rasulullah, yang dikasihi Allah itu, bajunya hanya bertambal, tidur di atas
kayu korma, dengan rumah yang sederhana, harta kekayaan hanya bisa untuk
makan sehari dua? Tetapi mereka bukan pemalas, mereka dengan generasi
sahabat adalah generasi pekerja keras namun mereka tidak terikat oleh harta,
tidak diperbudak oleh harta, harta adalah untuk jalan kemanusiaan,
untuk rahmatan lil-alamin, lillahi tala. Bagi mereka
bangun jam empat subuh bukanlah suatu kemewahan, adalah kegiatan harian
mereka, tetapi bagi sebagian besar umat Islam pada hari ini sepertinya
suatu hal yang sangat istimewa. Metalitas seperti generasi pertama itu pada
hari ini agaknya suatu hal yang asing bagi ummat Islam.
Ajaran
Islam sebenarnya jauh lebih sangat sosialis dan dalam daripada ajaran Marx
yang begitu digilai-gila anak muda, namun ajaran Islam jauh lebih sangat
kerasnya anjuran bekerja daripada kapitalis untuk mengumpulkan harta dan
sangat keras sekali untuk untuk bertindak sangat sosial kemanusiaan. Adapun
yang membedakannya secara kentara sekali dengan Marx dan Kapitalis adalah
akhlak, lilahi tala, zuhud-nya, monotheisnya, semata
karena Allah-nya. Akan tetapi sepertinya sebagian besar ummat Islam tidak
mau tahu, terlelap dalam kemegahan, serta kemiskinan.
Namun,
sebaliknya, betapa banyaknya ummat Islam yang pergi haji setiap tahun, bahkan
ada yang sudah tiga atau empat kali pergi haji, sepertinya tidak pernah terpikir
oleh sebagian besar ummat Islam itu tentang nasib ummat Islam yang
sebagian besar miskin, kelaparan, para siswa dan mahasiswa Islam butuh beasiswa.
Agaknya sangat begitu ironis dan tragis. Sampai di sini, masih begitu sangat
berkesan cerita sufi tentang seorang tukang sepa tu membatalkan niatnya
pergi haji ke Mekah, ketika dia tahu banyak orang disekelilingnya miskin,
dan diberikannya tabungan hajinya itu untuk fakir miskin. Sepertinya cerita
itu masih jadi isapan jempol bagi sebagian besar ummat.
Pergi
haji sepertinya bagi sebagian besar ummat Islam adalah sebuah status sosial,
suatu wisata saja, sebuah ziarah keagamaan, jadi bahan berita untuk mode,
gaya hidup, dan kepentingan politik. Sampai hari ini sebagian besar ummat
masih bangga dan style dengan gelar haji di depan namanya,
apakah mereka tidak malu kepada nabi Muhammad. Saw yang yang tidak pernah memakai
gelar haji atau hajjah.
Kemudian
tindakan kekerasan begitu marak bagi sebagian besar ummat Islam, seakan-akan
itulah yang disebut akhlak Islami. Menghancurkan rumah ibadah orang, merusak
pagar, kaca jendela, ruang kantor, membakar tempat orang lain,
menginjak-injak foto orang, memberikan gelar-gelar buruk. Pada satu sisi,
memang benar, perlu menegakkan kebenaran, memberantas maksiat, namum
bukankah tidak begitu cara nabi Muhammad. Saw, bukankah tidak begitu akhlak
yang santun itu, akhlak yang rahmatan lil alamin itu.
Apakah
harus qisas juga kalau umat Islam apabila Buya dimaki dengan kata kotor,
dibalas dengan memakinya pula dengan kota kotor? Bukankah akhlak Islam itu
adalah membalas keburukan dengan kebaikan. Apakah akhlak Islam harus membalas
keburukan dengan keburukan, dengan kekerasan? Wallahu a’lam.
FADLILLAH MALIN SUTAN
(Dosen FIB Universitas Andalas Padang)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar