KRITIK TERHADAP DRAMATURGI
Dramarturgi
hanya dapat berlaku di institusi total
Institusi total maksudnya adalah
institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau
keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut,
dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung
kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institusi total
antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang
jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran
kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan,
penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara,
institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan
baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak
menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini
peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang akan lebih
memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan beberapa
ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum
diaplikasikan.
Menihilkan
“kemasyarakatan”
Teori ini juga dianggap tidak mendukung
pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya
diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran
individual menimbulkan clash bila
berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.
Dianggap condong
kepada Positifisme
Dramaturgi dianggap terlalu condong
kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu
sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia
sehingga tindakan nyeleneh atau tidak
dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut.
ANALISA DRAMATURGI
Dramaturgis masuk
dalam Perspektif Obyektif
Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif
obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif
(berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki
kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat
menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti
alur. Misalnya, pada kasus Kekerasan pada Rumah Tangga (“KDRT”), saat perilaku kekerasan itu hendak terjadi, korban
sebenarnya memiliki pilihan, berserah diri atau melakukan perlawanan. Bila ia
memberontak maka konsekuensinya adalah ini dan bila ia pasrah maka akibatnya
seperti itu. Proses subyektif ini akan beralih menjadi obyektif saat ia
menjalani peran yang dipilihnya tersebut. Misalnya yang ia ambil adalah pasrah
karena ia takut kalau ia melarikan diri konsekuensinya lebih parah, atau ia
merasa terlalu tergantung kepada tersangka dan mengkhawatirkan nasih anaknya
bila ia melawan. Maka, setelah itu ia akan menjalani perannya sebagai korban. Secara
naluriah ia akan menutupi bagian tubuhnya yang mungkin menjadi sasaran
kekerasan. Atau ia berusaha untuk menutupi telinganya untuk melindungi mental
dan psikologisnya. Itulah mengapa dramaturgi di sebut memiliki muatan objektif.
Karena pelakunya, menjalankan perannya secara natural, alamiah mengetahui
langkah-langkah yang harus dijalani.
Pendekatan Keilmuan
Little John – Pendekatan Scientific (ilmiah – empiris)
Seperti telah dijabarkan diatas, Dramaturgis
merupakan teori yang mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil
dari perilaku. Ini merupakan asas dasar dari penelitian-penelitian yang
menggunakan pendekatan scientific.
Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat dramaturgi
berperan adalah memang institusi yang terukur dan membutuhkan peran-peran yang
sesuai dengan semangat institusi tersebut. Institusi ini kemudian yang diklaim
sebagai institusi total sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya. Bahwa hasil
dari peranan itu sesungguhnya, bila proses (rumusnya) dijalankan sesuai dengan
standar observasi dan konsistensi maka bentuk akhirnya adalah sama. Contohnya,
bila seorang pengajar mempraktekkan cara mengajar sesuai dengan template perguruan tinggi maka kualitas
keluaran perguruan tinggi tersebut akan menghasilkan kualitas yang bisa
dikatakan relatif sama. Atau untuk contoh front
liner hotel diatas, bila front liner dapat
memainkan skenario penyambutan tamu manajemen hotel, niscaya tamu akan merasa
dihargai, dihormati, senang dan bersedia untuk datang menginap kembali di hotel
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar